Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mengungkapkan isu klasik yang menjadi latar belakang kenaikan harga beras. Pernyataan ini diberikan setelah rapat koordinasi pengendalian inflasi tahun 2023 yang dipimpin oleh Plt Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi. Dalam rapat tersebut, Tito menjelaskan bahwa meskipun produksi beras diperkirakan surplus, harga beras justru mengalami kenaikan.

Menurut Suwandi, kenaikan harga beras disebabkan oleh naiknya biaya produksi di tingkat petani, biaya logistik, dan hambatan dalam rantai distribusi. Tito menyoroti masalah klasik yang kerap muncul dalam konteks ini, yaitu masalah rekonsiliasi data.

Menurut data Kementan, Tito menyebut bahwa sekitar 14 juta petani mampu memproduksi 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG), yang kemudian diolah menjadi 31,54 juta ton beras. Namun, konsumsi masyarakat Indonesia yang mencapai 278 juta jiwa hanya membutuhkan 30,2 juta ton beras.

“Artinya, jika kita merujuk pada data ini, persediaan beras seharusnya mencukupi kebutuhan kita tanpa perlu impor,” jelas Tito.

Namun, terjadi kelangkaan dan kekurangan beras yang memaksa pemerintah melakukan impor sebagai langkah cadangan dan untuk menjaga ketahanan pangan. Tito menganggap bahwa persoalan klasik di sini adalah ketidaksesuaian data.

Tito menegaskan perlunya rekonsiliasi data antara berbagai instansi terkait, termasuk Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Perum Bulog, dan Badan Pangan Nasional. Dia mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi dari Bulog, produksi beras dalam negeri mengalami penurunan. Badan Pangan juga mengemukakan hal serupa, yang menyebabkan kebutuhan akan impor. Apakah harga beras bakal bisa distabilkan nantinya?

Menteri Perdagangan juga turut menyuarakan hal serupa, terutama dengan adanya tantangan produksi beras akibat El Nino.

Tito menilai bahwa rekonsiliasi data menjadi hal yang krusial dan menyatakan perlunya rapat teknis khusus yang melibatkan Kementerian Pertanian untuk menghadirkan data yang akurat berdasarkan lokasi dan wilayah. Setelah itu, perlu dilakukan pengecekan lapangan oleh Badan Pangan, verifikasi oleh Bulog, serta pengecekan lanjutan oleh pemerintah daerah dan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan jaringan yang mencakup seluruh kabupaten/kota untuk memastikan bahwa angka produksi beras yang ada adalah data yang sesungguhnya.

Jika data tersebut terbukti akurat, maka tantangan utama adalah masalah distribusi dan logistik. Dalam rangka mengatasi kenaikan harga beras yang menjadi perhatian masyarakat, penyelarasan data dan koordinasi yang kuat antarinstansi akan menjadi langkah kunci dalam upaya menjaga stabilitas harga beras di Indonesia.